Setelah bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiran, saya akhirnya memutuskan pulang kampuang (Minangkabau: baca kampung) untuk ikut menikmati dan merasakan lebaran bersama keluarga di kampung. Saya pulang lima hari sebelum pemerintah akhirnya memutuskan Lebaran 1432H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Hal ini disebabkan saya memiliki misi untuk menikmati keindahan alam tanah kelahiran dan mendokumentasikannya tanpa banyak manusia di dalamnya, tentu hal ini bisa diwujudkan pada bulan puasa ketika orang memilih berada di rumah daripada berjalan-jalan. Begitu mendarat di bandara Minangkabau, saya dijemput oleh kakak untuk kemudian menuju kampung halaman kami tercinta yang bernama Puncak Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Puncak Lawang terkenal dengan hamparan ladang tebu dan “saka”(seperti gula merah) merupakan hasil olahan dari tebu tersebut. Proses pembuatan “saka” masih sangat tradisional, mulai dari memilih tebu yang sudah cukup dewasa untuk dipanen, dibersihkan dan dipotong-potong kemudian digiling untuk disuling dan diambil airnya. Penggilingan dijalankan dengan menggunakan bantuan tenaga kerbau. Saka merupakan penghasilan utama dari masyarakat Puncak Lawang, dan Kerbau adalah ternak yang sangat besar nilainya terutama untuk membantu perekonomian. Sayang sekali, saya tidak memiliki dokumentasi penggilingan tebu karena tidak ada yang mengilang tebu menjelang lebaran. Perjalanan dari bandara Minangkabau ke Puncak Lawang memakan waktu +4-5 jam, bukan waktu yang pendek. Sepanjang perjalanan saya minta kakak untuk berhenti pada beberapa tempat yang menarik perhatian saya, seperti rel kereta yang berlokasi di dekat Lembah Anai, antara Padang – Bukittinggi, yang dulunya sejak zaman Kolonial Belanda hanya digunakan untuk rute kereta pengangkut batubara dari Sawahlunto ke Padang Begitu melewati Padangluar, persimpangan jalan menuju ke Puncak Lawang, saya turun dari mobil dan meneruskan perjalanan dengan sepupu saya yang sudah menunggu dengan menggunakan motor sesuai dengan janji yang sudah kami buat sebelumnya. Ada satu perkampungan yang menarik perhatian saya, namanya Sungai Talang. Sedikit yang saya ketahui mengenai perkampungan ini namun berikut pemandangan yang saya dapat dalam perjalanan Bukittinggi - Matur. Sesampainya di kampung, yang pertama kali saya lakukan adalah mengunjungi Puncak Lawang di sore hari ditemani oleh sepupu. Subhanallah pemandangan yang saya dapat benar-benar keindahan yang tiada duanya, "sang penguasa siang" memperlihatkan keindahannya sebelum beranjak ke peraduannya. Berikut keindahan gambar yang saya tuangkan di akun Instagram saya sore itu: Puncak Lawang berada pada dataran tinggi, dari sini kita bisa melihat keindahan Danau Maninjau dari atas. Sewaktu kecil, saya ketakutan setiap melihat ke arah Danau Maninjau dari atas, namun yang saya lihat kali ini sungguh jauh dari ketakutan itu. Setelah puas menikmati sunset di sore hari itu, berhubung pancaran "sang penguasa siang" masih menyisakan cahaya, saya melanjutkan mengambil dokumentasi yang sangat sayang apabila tidak diabadikan. Rumah GadangSumatera Barat identik dengan Rumah Gadang atau Rumah Bagonjong, dan dikampung saya masih ada satu rumah gadang yang dilestarikan sampai saat ini oleh pemiliknya, yang masih ada hubungan sanak keluarga dengan pihak Ayah saya. Konon kabarnya tidak sembarangan orang boleh membangun Rumah Gadang. Di kampung saya terdapat 2-3 rumah gadang yang masih asli. Satu rumah masih ditempati oleh pemiliknya, satu lagi dilestarikan oleh tante saya, dijaga untuk diwariskan bagi anak cucu tentunya. Satu lagi tidak terurus. Surau, Mesjid dan Masyarakat Minangkabau |
AuthorI'm in love with Indonesian cultures and traditions. This blog is to inspires you to travel throughout Indonesia and help you understand Indonesia better. Archives
September 2014
Categories
All
I'm here!https://www.instagram.com/lindashoot/
|