Minggu pertama bulan September kemarin saya harus menghadiri nikahan sepupu saya di Muarolabuah, Solok Selatan, Selain mengambil cuti dua hari pada Kamis dan Jum'at saya memutuskan memperpanjang waktu saya di sana karena menemukan jadwal penutupan acara Pacu Jawi (Jawi = Sapi) di Tanah Datar tepatnya di Kecamatan Rambatan. Karena berangkat dengan keluarga, maka untuk memaksimalkan perjalanan, jadwal melihat Pacu Jawi dimasukkan oleh Ibunda ke agenda perjalanan keluarga, alhasil pada hari Sabtu pagi-pagi kami meninggalkan Muarolabuah menuju Tanah Datar. Sepanjang perjalanan Ibu saya bersemangat mengingatkan saya untuk selalu merekam perjalanan ini karena beliau melihat antusiasme saya dalam dunia perdokumentasian belakangan ini (Photography dan Videographer wannabe). Menuju Tanah DatarSetelah puas melihat keindahan Danau dibawah dari kejauhan perjalanan sampai di Danau Singkarak. Kami memutuskan berhenti untuk makan siang serta sholat di sebuah restoran dipinggir danau Singkarak. Sekilas info untuk menikmati Danau terluas ke-2 di pulau Sumatera ini, yaitu anda bisa menggunakan Kereta api wisata yang berangkat dari Stasiun Padang Panjang dan tiba di Stasiun Sawahlunto. Di tengah perjalanan anda akan dibawa mengelilingi Danau Singkarak sepanjang 19 kilometer, dengan biaya tiket Rp 50.000 pulang-pergi. informasi lebih dapat ditemukan disini.
Sambil istirahat dan makan, saya berinisiatif untuk mencari rute ke Tanah Datar dan Kec. Rambatan, mengingat acara Pacu Jawi berakhir jam 4 sore sekaligus menkonfirmasi mengenai lokasi ke Uda Efrizon yang saya dapatkan nama beliau dari Internet yang juga ternyata kenalan keluarga saya Uda Nov (Yulnofrins Napilus). Setelah selesai melepaskan lelah dan perut sudah kenyang, kami melanjutkan perjalanan sesuai arahan Uda Efrizon, dan memang agak sulit menemukan area ini karena kurangnya rambu atau petunjuk menuju ke area Pacu. Ketika kami mendekat, dari kejauhan saya lihat banyak sekali mobil yang parkir sepanjang jalan, dan juga banyak turis mancanegara yang kembali pulang selesai melihat pertunjukan, saya deg-degan karena saya pikir acara ini sudah bubar. Begitu kami mendekat dan gas mobil dimatikan, saya langsung lari keluar menuju arena Pacu, dalam 5 menit keluarga sudah kehilangan jejak saya hehehe... dan benar adanya, acara ini ramai sekali, dan pada satu spot saya lihat ada sekelompok wartawan dari daerah lokal, dan juga bagian Indonesia lainnya serta Photographer dari mancaranegara. Wah, saya bersemangat sekali melihat situasi ini. Dan ternyata pertunjukan tengah berlangsung, dikejauhan saya perhatikan para pemilik sekaligus pengendara jawi sedang mengendalikan jawi-jawi. Ketika saya masih melakukan setting ulang kamera, dari kejauhan sudah terdengar teriakan penonton serta bunyi ciptratan air menuju kearah saya berdiri, dan saya langsung mengarahkan kamera ke asal suara tersebut, sungguh mengagumkan karena kegiatan ini ada di daerah tempat saya berasal, "Minang" maksudnya. Karena dari dulu saya ingin sekali memotret kegiatan Karapan Sapi di Madura, namun karena masih belum mendapatkan teman mau kesana sehingga tidak pernah terwujud perjalanan menuju kesana.
0 Comments
Setelah bertahun-tahun tidak menginjakkan kaki di tanah kelahiran, saya akhirnya memutuskan pulang kampuang (Minangkabau: baca kampung) untuk ikut menikmati dan merasakan lebaran bersama keluarga di kampung. Saya pulang lima hari sebelum pemerintah akhirnya memutuskan Lebaran 1432H jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011. Hal ini disebabkan saya memiliki misi untuk menikmati keindahan alam tanah kelahiran dan mendokumentasikannya tanpa banyak manusia di dalamnya, tentu hal ini bisa diwujudkan pada bulan puasa ketika orang memilih berada di rumah daripada berjalan-jalan.
Begitu mendarat di bandara Minangkabau, saya dijemput oleh kakak untuk kemudian menuju kampung halaman kami tercinta yang bernama Puncak Lawang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Puncak Lawang terkenal dengan hamparan ladang tebu dan “saka”(seperti gula merah) merupakan hasil olahan dari tebu tersebut. Proses pembuatan “saka” masih sangat tradisional, mulai dari memilih tebu yang sudah cukup dewasa untuk dipanen, dibersihkan dan dipotong-potong kemudian digiling untuk disuling dan diambil airnya. Penggilingan dijalankan dengan menggunakan bantuan tenaga kerbau. Saka merupakan penghasilan utama dari masyarakat Puncak Lawang, dan Kerbau adalah ternak yang sangat besar nilainya terutama untuk membantu perekonomian. Sayang sekali, saya tidak memiliki dokumentasi penggilingan tebu karena tidak ada yang mengilang tebu menjelang lebaran. Perjalanan dari bandara Minangkabau ke Puncak Lawang memakan waktu +4-5 jam, bukan waktu yang pendek. Sepanjang perjalanan saya minta kakak untuk berhenti pada beberapa tempat yang menarik perhatian saya, seperti rel kereta yang berlokasi di dekat Lembah Anai, antara Padang – Bukittinggi, yang dulunya sejak zaman Kolonial Belanda hanya digunakan untuk rute kereta pengangkut batubara dari Sawahlunto ke Padang |
AuthorI'm in love with Indonesian cultures and traditions. This blog is to inspires you to travel throughout Indonesia and help you understand Indonesia better. Archives
September 2014
Categories
All
I'm here!https://www.instagram.com/lindashoot/
|